• header1
  • header2

Selamat Datang di Website MIN 1 BANYUWANGI. Madrasah Inovatif, Kompetitif dan Berkualitas. Terima Kasih Kunjungannya

Pencarian

Kontak Kami


MIN 1 BANYUWANGI

NPSN : 60715858

Jl. Ikan Wijinongko No. 10 Sobo Banyuwangi


[email protected]

TLP :


          

Banner

Jajak Pendapat

Bagaimana pendapat anda mengenai web sekolah kami ?
Sangat bagus
Bagus
Kurang Bagus
  Lihat

Statistik


Total Hits : 168003
Pengunjung : 78451
Hari ini : 29
Hits hari ini : 118
Member Online : 0
IP : 216.73.216.175
Proxy : -
Browser : Gecko Mozilla

Status Member

Tantangan dan Harapan dalam Evaluasi Kurikulum Merdeka




Tantangan dan Harapan dalam Evaluasi Kurikulum Merdeka

(Menuju Pendidikan yang Lebih Berkualitas)

Oleh:

Mohammad Haris Jamroni

 

Pendidikan merupakan upaya yang sadar dan terencana dengan tujuan menciptakan suasana belajar yang kondusif dan proses pembelajaran yang efektif. Dengan pendekatan ini, peserta didik diharapkan dapat secara aktif mengembangkan potensi dirinya. Potensi ini mencakup berbagai aspek, mulai dari kekuatan spiritual keagamaan, kemampuan pengendalian diri, kepribadian yang kokoh, kecerdasan yang optimal, akhlak mulia, hingga keterampilan yang dapat membantu mereka berkontribusi positif bagi diri sendiri, masyarakat, bangsa, dan negara. Prinsip ini selaras dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yang menekankan bahwa pendidikan harus mengembangkan karakter dan nilai-nilai luhur, bukan sekadar pengetahuan akademik.

 

Dalam dunia yang terus berubah dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan karakter semakin menjadi kebutuhan yang mendesak. Kita hidup di era modern yang penuh tantangan moral dan sosial. Peserta didik perlu dibekali dengan nilai-nilai yang mampu membimbing mereka dalam menghadapi berbagai situasi kompleks dengan bijaksana. Pendidikan karakter melibatkan pembangunan nilai-nilai penting, seperti kejujuran, tanggung jawab, rasa hormat, kerjasama, toleransi, dan empati. Nilai-nilai ini adalah fondasi penting yang tidak bisa diukur hanya dengan angka atau nilai kuantitatif.

 

Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sistem pendidikan kita masih lebih menitikberatkan pada aspek kognitif. Penilaian berbasis angka seperti hasil tes dan ujian tetap menjadi metode utama yang digunakan untuk mengevaluasi pencapaian peserta didik. Akibatnya, pendidikan karakter sering kali terpinggirkan atau diperlakukan sebagai aspek sekunder. Padahal, pembangunan karakter yang baik sangat penting untuk memastikan bahwa peserta didik tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berintegritas dan mampu berkontribusi positif dalam masyarakat.

 

Penilaian pendidikan karakter memang tidak mudah dilakukan. Dibutuhkan pendekatan kualitatif yang berbeda dari metode kuantitatif yang biasa digunakan. Penilaian kualitatif memerlukan observasi yang cermat, refleksi yang mendalam, dan pemahaman yang luas tentang perilaku dan sikap peserta didik. Misalnya, seorang guru harus bisa menilai sejauh mana seorang siswa menunjukkan rasa hormat terhadap teman-temannya, atau bagaimana siswa tersebut bertanggung jawab atas tugas-tugas yang diberikan. Instrumen untuk menilai karakter harus bersifat deskriptif dan memberikan umpan balik yang membangun, bukan sekadar memberi label atau peringkat.

 

Untuk mencapai hasil yang maksimal, konsep penilaian kualitatif harus diterapkan secara masif dan valid. Penilaian ini harus mencerminkan situasi yang riil dan sesuai dengan apa yang benar-benar terjadi dalam kehidupan sehari-hari siswa, baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Hanya dengan penilaian yang autentik dan berkelanjutan, perbaikan moral dan etika peserta didik bisa dilakukan secara efektif. Ini berarti penilaian karakter tidak hanya dilakukan untuk laporan di rapor yang dibagikan setiap enam bulan sekali. Sebaliknya, evaluasi karakter harus menjadi proses yang terus-menerus, memberikan umpan balik reguler yang dapat memotivasi siswa untuk memperbaiki diri setiap saat.

 

Sayangnya, hingga saat ini belum tersedia instrumen penilaian kualitatif yang terstandarisasi dan diterapkan secara konsisten, baik dijenjang pendidikan dasar maupun menengah. Kebanyakan institusi pendidikan masih terpaku pada sistem penilaian berbasis angka, yang dianggap lebih mudah diimplementasikan. Konsekuensinya, dimensi moral dan etika peserta didik sering kali luput dari perhatian. Padahal, jika pendidikan karakter diabaikan, kita berisiko menciptakan generasi yang cerdas secara akademik tetapi lemah dalam hal moralitas dan etika.

 

Selain itu, tantangan lain yang terus berulang dalam dunia pendidikan Indonesia adalah perubahan kebijakan yang kerap terjadi seiring pergantian menteri. Istilah “Ganti menteri, ganti kurikulum” sudah menjadi semacam kenyataan pahit yang diterima begitu saja oleh masyarakat. Salah satu contoh nyata adalah implementasi Kurikulum Merdeka, yang saat ini masih menjadi perdebatan di kalangan pendidik. Banyak guru yang mengaku belum sepenuhnya memahami esensi dan tujuan dari Kurikulum Merdeka. Mereka merasa bahwa kurikulum ini justru menambah beban administratif yang berat, sehingga mengurangi fokus pada pembelajaran yang bermakna bagi siswa.

 

Kurikulum Merdeka, yang seharusnya memberikan kebebasan lebih besar kepada pendidik untuk berinovasi, malah sering dianggap membebani karena berbagai tuntutan administrasi yang menyertainya. Akibatnya, peserta didik sebagai subjek utama dari proses pendidikan justru tidak mendapatkan perhatian penuh dari para pendidik. Ini menjadi dilema yang serius, karena pendidikan seharusnya menempatkan peserta didik di pusat pembelajaran, dengan fokus pada pengembangan karakter yang seimbang dengan pengetahuan.

 

Pemerintahan baru yang baru saja terbentuk, termasuk menteri pendidikan yang baru dilantik, membawa harapan akan adanya perubahan yang lebih baik. Ada wacana bahwa Kurikulum Merdeka akan dievaluasi oleh menteri yang baru. Dalam proses evaluasi ini, banyak pihak yang berharap bahwa pendidikan karakter tidak akan diabaikan. Standarisasi penilaian pendidikan karakter harus tetap menjadi prioritas, karena tanpa penilaian yang tepat, pendidikan karakter hanya akan menjadi wacana tanpa implementasi yang nyata.

 

Untuk masa depan, diperlukan sinergi antara pemerintah, pendidik, dan akademisi dalam mengembangkan instrumen penilaian kualitatif yang komprehensif dan efektif. Instrumen ini harus mampu menilai kemajuan karakter siswa secara adil dan memberikan umpan balik yang bermanfaat untuk perkembangan mereka. Dengan adanya standar penilaian yang lebih terstruktur, pendidikan Indonesia dapat lebih fokus pada pembentukan generasi yang tidak hanya pintar, tetapi juga bermoral dan berkarakter kuat. Hanya dengan pendidikan yang holistik inilah kita dapat mempersiapkan generasi masa depan yang mampu menghadapi tantangan global dengan nilai-nilai luhur yang terjaga.




Share This Post To :

Kembali ke Atas

Artikel Lainnya :





   Kembali ke Atas